RIUHAN RINDU dan Sebuah Bingkai Foto
cuaca hari ini sepertinya tak lagi bersahabat, aku menerawang jauh
menembus rintik hujan dari balik bilik rasanya terlalu pengap untuk melepas
lelahnya hati pada ruang kosong tanpa penghuni selain diri ini. sunyi dalam
gelap, dingin dan mencekam semuanya melebur menjadi satu, terpuruk pias wajahku
menanti sabar lantas gelisah, aku harap setetes embun basahi rindu ini. aku
yang terdiam saat perhatianku beralih pada sebuah sudut, dalam ruang sepetak yang hanya cukup untuk
merebahkan jasad ini ketika lelah dan kantuk menghampiri. aku terseok bergegas
ingin mendatangi sudut itu yang mampu merangsang rasa ingin tahuku hingga
klimaks. imajinku jauh melalang buana saat aku tahu dalam genggamanku ada
bingkai foto yang tak lebih besar dari
ukuran 10R. ku dapati pada sudut itu terbalutkan kain sutra kuning keemasan
dalam sebuah kotak yang terbuat dari karton coklat. tempat dimana biasa
aku letakkan benda-benda yang telah
usang. tergambarkan paras gadis cilik cantik nan jelita, warna kulit kuning
langsat. hitam lebat rambutnya dikucir kuda. dengan senyum merona lesung pipi
di kanan dan kirinya semakin membuatnya mempesona, tampaknya ia adalah gadis
yang ceria. orang memanggilnya “Meylin”. aku semakin tenggelam membahana
menyisiri masa silam.
aku terlahir di kota besar yang terkenal dengan ciri khas
makanannya yaitu gudeg. lahir sebagai anak tunggal dari pasangan Lasmi dan
Suratmo. pada tahun 1989 tepatnya tanggal 16 april adalah hari yang
membahagiakan dan bersejarah bagi mereka dan saat itulah aku mulai dipanggil
dengan Meylin. aku bangga mempunyai ayah suratmo. pagi sekali saat fajar belum
tebit dan tak banyak aktifitas yang biasanya orang kerjakan... lain daripada
yang lain, pagi itu ayah harus sudah siap segera dengan sepeda ontelnya yang
telah setia menemani sekian puluhan tahun lamanya untuk mengais rizki, ia goes
sepeda ontel itu dengan kuat menguras tenaganya, sebab ia harus melewati jalan
yang terjal dan penuh rintangan dengan jarak puluhan kilometer harus ia tempuh
untuk tiba tepat waktu pukul 06.30 bisa memasuki dalam ruang yang aku pun tak
mengerti, ruang itu bising dan penuh gemuruh, banyak orang yang berlalu lalang,
banyak pintalan benang-benang, potongan-potongan kain batik juga mesin-mesin
besar yang pasti bukan buatan negeri ini, hanya itu yang aku tahu tanpa bisa
memaknainya tentang ruang itu saat ibuku menyuruh untuk mengantarkan kotak
makan yang biasanya ayah bawa ke tempat kerja jika tidak sempat sarapan di
rumah. karena sedetikpun ayah tidak boleh terlambat, akan berakibat pada upah
yang diberikan. terlebih lagi pekerjaan ayah adalah mengoperasikan dan
mematikan mesin, apa jadinya jika ayah datang terlambat, tentunya produksi akan
terhamabat karena keterlambatan waktu. karena itulah ayah selalu berangkat
lebih awal dan pulang lebih akhir, ayah suratmo adalah ayah yang bijak dan
penuh tanggung jawab begitu juga dengan ibu lasmi yang penuh cinta dan kasih
sayang. tapi semua itu telah kandas, aku anggap kebaikan ayah pada ibu dan aku
hanyalah kedok.
sesaat aku terkejut foto yang ku genggam basah dan semakin lusuh.
pikirku hujan di balik bilik ini sudah menjebol atap tepat diatas foto ini,aku
menengadah ke atas, tidak aku lihat ada lubang setitikpun dan air yang turun
dalam genangannya, malah aku merasakan basah pada pipiku, semakin deras air itu
mengalir pada sorot mata yang tajam berwarna kecoklatan, rupanya hujan di luar
sana membuatku larut kembali bersama seperti waktu itu, waktu yang selalu
terkenang dimana aku terus merindu, tentang anggapanku yang telah salah
mengenal ayah, ayah adalah sosok yang baik dan melindungi. karena beberapa hari
ini ayah jarang pulang meninggalkan pesan pun tidak. kudapati ibu sepertinya ia
sedang gelisah wajahnya pucat pasi dengan sedikit takut menyinggung aku
bersuara, “mengapa ibu belum juga berlaku adil pada tubuh ibu, segeralah ibu
istirahat, apa pula yang ibu tunggu ?”. ibu menjawab dengan lembut dan begitu
tegar, pikirku ibu akan marah atau menangis tapi tidak seperti yang ku
kira “ kau tak ingat atau tak tahu ?,
sulit kubendung naluri itu, tentang rinduku selalu mengalirkan nama suratmo
bersama detak jantungku”. “ selalu begitu setiap waktu, tak pernah lagi aku
inginkan kehadiran seorang ayah apalagi ayah suratmo, sampai kapan ibu begini?
padahal dia tak pernah memikirkan kita” sahut aku. “seperti menghitung jutaan bintang
di malam hari, seperti menghitung rintik hujan yang jatuh ke bumi, seperti
menghitung hamparan pasir di pantai, sampai matipun aku akan menunggu.” ucap
ibu dengan gaya puitisnya. aahh ibu begitu melankolis (gumamku dalam hati)
membuatku menarik diri dari percakapan itu dan memasuki kamar. apa pun yang
terjadi pada ayah ia adalah tetap ayahku, terus saja hipotesa-hipotesa tentang
ayah membayangi alam bawah sadarku membuatku tak tenang pejamkan mata, tetapi
aku juga tak ingin terpuruk dalam rasa itu, menggebu mengalir deras di aliran
darahku membuat lebih cepat detak jantungku. aku harus tetap melakukan oposisi
terhadap ayahku, mungkin saja semua yang dilakukan adalah memang kejahatannya,
sebab sekian lama ia pergi tak pernah meninggalkan pesan.
esok harinya
seperti biasa aku pergi ke sekolah, tetapi untuk kesekian kalinya aku harus
menanggung malu saat aku dipanggil dan harus menghadap ke ruang BK, lazimnya
siswa yang menghadap ke ruang BK adalah
mereka yang bermasalah dan dalam kondisi kritis. lagi-lagi aku disinggung soal
bayaran spp yang sudah nunggak 6 bulan lamanya, setiap bulannya aku mendapatkan
surat peringatan tapi tidak aku sampaikan pada ibu, bukan karena aku anak nakal
atau tidak amanah tapi aku tak sanggup kalau harus melihat ibu gelisah dan resah
menanggung beban lebih karena ulah ayah. terpaksa pagi itu aku harus segera
balik ke rumah, bangku itu tidak lagi pantas untuk aku duduki, percakapan tadi
di ruang BK membuatku tidak bergairah untuk melanjutkan study, ingin aku
mengadu pada Tuhan mengapa di negeri ini tidak ada keadilan, aku segera pulang
pada bilik yang tengah rawan menimbun penghuninya, tetapi setibanya di tempat
semakin ingin membuatku lari, dari pelataran rumah terdengar suara gemuruh
sepertinya barang pecah belah dan segala macam cercaan, aku kenal dengan suara
itu, itu adalah suara ayah suratmo, aku khawatir akan terjadi apa-apa pada ibu,
juga takut pada ayah akan melakukan kekerasan padaku dan semakin menjadi-jadi.
tiba-tiba hujan turun ini tak memungkinkan aku untuk tetap berada di luar lalu
terpaksa masuk ke dalam rumah membaur dalam keributan yang mempersoalan SPPku,
ibu tahu kalau aku menyimpan surat di bawah matras untuk menghindarkan dari
pandangannya, rupanya ia mendapati itu saat membereskan tempat tidurku yang tak
sempat aku sentuh pagi tadi sebelum pergi ke sekolah. ibu memintanya pada ayah
tapi ayah pulang tidak membawa uang yang cukup banyak, perdebatan itu semakin
sengit membuat ayah pergi dari rumah walaupun di luar sana hujan deras itu
tidak berpengaruh untuk menghalanginya pergi, dan kejadian itulah membuat
stereotipe padanya semakin kuat, bahwa dia adalah ayah yang jahat, sejak itu
dan selamanya aku tidak akan pernah melihat ayah lagi, tepat dimana aku
menduduki sekolah kelas 6 SD.
ingin aku
bisikkan pelan ke telingamu tentang kehidupan, kebahagiaan yang ingin aku
rengkuh, tentang cita-cita dan harapan, betapa aku tidak bisa berhenti
mencintaimu ibu, ingin aku segera bisa membelai wajahmu, membiarkan aku
bersandar di bahumu berbagi kegelisahan dan mengurai beban yang menggantung,
kini aku tak lagi takut akan putus sekolah, ibu telah membangkitkan gairahku
kembali, segala upaya yang ibu lakukan demi melunasi SPPku, tidak akan
terbayarkan olehku sampai kapanpun, karena mata air kasih sayangmu tak akan
pernah kering.
satu bulan
kemudian, ujian sekolah telah usai aku laksanakan, waktu liburan aku manfaatkan
lebih leluasa untuk membantu orang tua mengais rizki. tepat jam tujuh pagi aku
berada di tempat agen besar koran untuk mengulak barang yang akan aku jual,
karena aku menjadi seorang loper koran. terminal dan lampu merah adalah tempat
pelangganku berada , di sela waktu menunggu agen mensortir koran aku manfaatkan
untuk membaca, aku tertarik pada sebuah koran nasional, berita tentang
kecelakaan maut telah menarik perhatianku, seketika berita itu membuat tubuhku
kaku membatu, sesak dadaku, merasakan sakit pada ulu hatiku seperti ada yang
menekan, pandanganku pun kabur penuh dengan bayang-bayang, kepalaku sakit bukan
kepalang, lalu aku tak sadarkan diri, setelah aku baca berita itu bahwa suratmo
adalah salah satu korban kecelakaan maut itu. hari itu aku tidak pergi
berjualan koran, aku dan ibu disibukkan mengurus jenazah ayah. aku lihat ibu
tetap tegar dan ada cinta yang tulus ia berikan pada ayah.
sepulangnya
dari pemakaman ayah, ibu meminta aku untuk duduk di sampingnya, ibu berkata “
ada yang harus kau ketahui nak”, “ apa itu ibu ?” tanyaku gusar penuh rasa
ingin tahu “ tentang ayahmu”, belum sempat aku bicara ibu sudah melanjutkan “
kalau ayah mu begitu bukan tanpa sebab, enam bulan yang lalu, pabrik tempat
ayah bekerja telah koleps, terjadi PHK besar-besaran terhadap karyawannya. ayah
masuk dalam daftar karyawan yang diPHK, dia pulang tanpa diberi pesangon, ayah
pulang dengan tangan hampa. apa komentar orang di rumah nanti, meylin dan lasmi
pasti mengharap kehadiran ayah dengan membawa uang lebih, ayah selalu dihantui
rasa takut dan bersalah bahwa dirinya tiada guna lagi, dan itulah yang membuatnya
tidak akan kembali ke rumah sebelum ia kabarkan dan bawakan kebahagiaan pada
kita”, sambil mengeluarkan beberapa surat dari dalam peti ibu kabarkan “
sebenarnya tiap bulan ayahmu selalu kirimkan surat ibu tak membalasnya, juga
tak sudi memberi tahu padamu, mendengar namanya saja, kau tunjukan kebencian
padanya” .
aku dirundung
rasa bersalah, setelah ibu menceritakannya, aku telah menghakimi ayah,
membencinya tanpa tau sebab, dan kami sekeluarga hanyalah korban dari kekuasaan
pemerintahan, aahh ibu seandainya aku baca surat itu dan aku mengerti bagaimana
susahnya mencari penghidupan. semuanya tidak akan terjadi, maut ayah tidak
direnggut gerbong kereta, dan ayah masih ada di sini bersenda gurau,
mengantarkan aku ke sekolah, mengajarkan aku tentang bumi manusia, menjadi guru
terbaik untuk ku. ini terakhir kalinya kami bercakap saat sore hari kami
berkumpul di pelataran rumah “ meylin kau anak satu-satunya ayah”,” ia ayah,
hendak apa kau berkata seperti itu ayah?”,” tentunya kau harapan terbesar ayah,
kau tahu bahwa perlu waktu untuk bisa sukses, karena kesuksesan merupakan hasil
alamiah dari ketekunan melakukan segala sesuatu dengan baik maka, maka
lakukanlah kejar cita-citamu” kata-kata peluru yang terlontar dari ayah
membakar semangatku, aku hanya bisa diam mencoba memaknainya dan menyimpanya
dalam memori, percakapan harus terhenti sampai disitu, karena hari sudah petang
dan aku segera pergi ke langgar untuk shalat magrib berjamaah dan mengaji,
namun kini tak dapat lagi ku dengar kata-kata bijaknya, melihat semangatnya dan
menikmati perhatiannya, biarlah aku nikmati kesunyian ini, biarlah aku nikmati
kehampaan ini, mungkin air mata yang tulus penuh makna daripada tawa penuh
dusta. di batas-batas kerinduan dan kehampaan tak terasa air mata menetes di
pipiku.
hanya ibu
seorang yanng ku miliki, tak ingin lagi menyia-nyiakan keberadaannya, yang
terpikirkan adalah bagaimana aku mengabdi pada ibu. aku mencari penghidupan
sendiri, aku bisa melanjutkan sekolah dari uapayaku sendiri, karena ibu yang
mendidik, sampai-sampai aku mendapatkan kuliah beasiswa S1 sastra, aku teringat
selalu pesan ayahanda pada ku, ingin aku menebus semua kesalahan itu. tapi apa
dikata, ibu tak sempat meliahat kalau anaknya kuliah mendapatkan beasiswa,
karena setahun setelah kepergian ayah, kesehatan ibu semakin menurun drastis,
hingga suatu hari, ibu harus segera membutuhkan pertolongan medis, aku hanya
menggantung berdiam diri, beruntunglah ada tetangga yang menolong dan
membawanya ke rumah sakit, dimasukinya ibu ke ruang UGD, segala macam peralatan
dan selang dipasang padanya, aku hanya bisa menangis saat itu, sambil menunggu
di lorong rumah sakit tiga jam lamanya. tepat jam 16.00 seorang dokter keluar
dari ruangnya , tergopoh-gopoh aku menghampirinya, terlihat muram wajahnya,
penuh sangkaan dan dugaan tentang keadaan ibu sampai dokter itu berkata “ tim
dokter sudah berusaha maksimal, tapi Allah berkehendak lain...”, sejak itulah
harus aku terima kenyataan, tentang kehidupan, tentang pendidikan, tentang masa
depan aku harus menghadapinya seorang diri tanpa kehadiran mereka.
krinng,,
kring,, Hpku terus berdering ucapan selamat dan sukses atas kelulusanku
mendapat gelar sarjana datang silih berganti dari kawan-kawanku karena, rupanya
aku terhanyut pada masa silam karena bingkai foto itu membuka semua kenangan.
segera aku rebahkan tubuhku untuk rehat dan besok adalah hari dimana aku akan
berhias mengenakan kebaya dengan rambut disanggul ala jawa, memakai baju
kebeseran, toga di atas kepalaku, tambahlah titel sarjana pada nama meylin
pemberian ayah suratmo, tapi semuanya tidak cukup seperti ada yang hilang
separuh jiwaku kalau aku harus diwisuda tanpa kehadiran mereka, kerabat pun tak
ada, hatiku yang mati suri, baru aku mengerti, bahwa rasa tak pernah pergi, dan
tak akan terganti, aku berkhayal dimana aku dapat tertawwa bersama ayah,
berkhayal menggenggam tanganmu ibu, akan kemana lagi angin melayang, tatkala
turun hujan nan muram, kelam dalam kabut rindu tertahan. Datanglah engkau
berbaring di sisiku, belenggulah seluruh tubuh dan sukmaku, ku ingin menjerit
dalam pelukanmu. Riuhan rindu adalah tali yang tak pernah putus, merentang di
tiang hati dan mimpi, tegak di lorong kehidupan, di sepanjang labuh usia. Di
situ tergantung lampu kenangan dan ingatan, biarpun hari semakin tua dan kelam
sudah bermula, hanya dzikir dan do’a menjadi penawar. Dalam senyap air mata
perlahan merintik.