Selasa, 15 April 2014

tiga srikandi

        Siang penaku lama sudah aku tak menyambangi mu dengan lentikan jemariku yang sarat dengan makna. Berlarut dalam kenikmatan yang tanpa arah,hanya alibi mengisi kekosongan di tengah cengkraman dunia fatamorgana, melang-langbuana mencari diri, tiada manfaat tiada guna dirasa, menunda kerja adalah bagian dari citra ku, kesibukan dan aktifitas yang tanpa rencana sehingga rutinitas belaka. Hilangkan kewajiban dan tanggungjawab sebagian, suara hati yang mendominasi suara fikir, lelah, gundah dan gelisah selalu berkeluh menggelayut menopang tubuh, menghantui gerak dan fikir menapikan sisi objektif. Luka yang mencambuk membabi buta sadarkan diri akan kekuatan dan potensi, lalu aku mengharap ada cahaya membawa kedamaian dan jalan tuk merajut asa menggapai cita, perlahan aku menepi mencari sunyi dan kasih, namun tak kudapatkan hingga kini, akhirnya aku ingin berkisah padamu, merangkai kata tuk mengabadikan dan perbaikan diri.
Kisah ini berawal dari aku, ayu dan maryam ketua suku kami. orang biasa  menyebut dengan tiga srikandi. Tepat tanggal 27 Februari 2014, di saat teriknya sinar mentari melangkah pasti, bahu membahu saling merangkul, mengikat janji, untuk mencerdaskan. Dibekali beberapa lembar kertas penuh karya, termaktubkan spirit perjuangan juga wasiat gerakan, pantang menyerah dan arah, dari satu pintu ke pintu lainnya, dari orang biasa sampai pemangku kebijakan kampusku,  kritik , saran dan coretan kebal kami terima, melalui lorong waktu, menembus hiruk pikuknya keramaian, mencairkan sunyi, menebar ilmu pengetahuan.
Saat senja, kami duduk bersua, hendak kemana lagi kami melangkah, ternyata tidak perlu waktu panjang dan tidak banyak hidangan yang kami nikmati, segera kami putuskan untuk menapakkan kaki menuju tempat peraduan. angkotpun menjadi penghantar kami sampai di tempat. lagi dan lagi kami harus memasang kuping lebar-lebar, bahkan lapangkan dada selapang-lapangnya. karena yang kami temui adalah salah satu dari ratusan banyaknya alumni kami yang masih peduli, mba husnul panggilan akrabnya. wejangan, dongeng masa lalu bahkan selalu kami terima, terlampau asyiknya kami berbincang hingga suara cacing demopun kami abaikan, sedikit kami tutupi dan bungkam, sebab malu dam tak sampai hati, namun akhirnya da yang mengerti satu mangkuk bakso, kami santap dengan lahap. menjawab dan menentrankam.. hehe...
Ternyata ketua suku menghubungi ketua cabang untuk bertemu di majasem, bicara soal agenda, sebenarnya aku berniat memisahkan diri dari 3 srikandi, karena habis maghrib saja baru keluar dari sumber, bagaimana untuk sampai sana, biasanya angkot D3 trakyek majasem jam 19.00 sudah tidak ada, namun tetap tidak bisa keluar dari rombongan, karena loyalitas ku yang tinggi juga persahabatan yang sangat erat, ga sampai di hati kalau harus meninggalkan mereka. 
Rombongan srikandi turun di majasem jam 19.15. hati saya was-was, karena tidak ada sedikitpun tanda-tanda ada mobil angkutan yang kami tuju, jalananpun tampak sepi, kami terus melangkang dari lampu merah pelandakan sembari menunggu mobil, di tengah perjalanan ada mobil yang bersedia memberikan tumpangan, syukurlah, alhamdulilah, kami bertiga sampai di tempat yang kami tuju, ternyata kami harus bersabar untuk beberapa menit lagi, hmhmhm...
 
 

Roller Coaster Emosi

Dalam perjalanan hidup kita pasti mengalami pasang surut, dan keadaan yang sering kali berubah-berubah, terkadang kita dihadapkan dengan b...